Banjir yang menerjang beberapa daerah di negeri ini semestinya melecut 
diri kita sejenak untuk merenungi ihwal relasi dengan alam sekitar.
Betul, bahwa banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi ketika 
musim hujan tiba. Namun, tak salah kiranya jika kita terus berupaya 
meminimalisasi dengan segala daya upaya guna meredamnya, karena kita 
adalah manusia berpikir.
Manusia yang terus mencoba memikirkan ulang tentang bentuk relasi dengan
 alam sekitar. Dalam ajaran agama Islam, itu merupakan pertanda 
berfungsinya sisi kemanusiaan sekaligus keilahian dalam diri.
Di dalam Al Quran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri 
Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh. Peristiwa ini dapat kita telaah dalam 
beberapa ayat di antaranya Surah Hud ayat 32-49, Surah al-A’raf ayat 
65-72, dan Surah Saba ayat 15-16. Secara teologis, awal timbulnya banjir
 tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Tuhan yang coba 
disampaikan para nabi. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa 
diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika 
memperlakukan alam sekitar.
Betul juga apa yang terkandung dalam Al Quran, “Bukanlah Kami yang 
menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri,
 (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di 
saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. 
Hud: 101).
Islam tentu saja mengemban misi suci dalam setiap gerakannya. Semua lini
 kehidupan mesti mendapat perhatian dari aktivis dakwah Islam agar 
mendapatkan keberkahan dari-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tak terkecuali dengan lingkungan hidup sekitar kita.
Hewan, alam, dan manusia merupakan “trias kehidupan” yang mesti 
melandasi relasi hidup dengan penghargaan. Bukankah, ketika kita sakit, 
sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan 
yang dihasilkan alam? Doktrin Islam pun mengajarkan, hidup tak boleh 
dihiasi dengan laku eksploitatif dan merusak (wa laa tufsidu fi al-ardh).
 Termasuk ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selokan, 
seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau 
perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan 
kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh pemangku jabatan.
Hukum sebab akibat ternyata tak dipatri dalam jiwa umat manusia. Ada 
saluran mampat dengan sampah menumpuk, tentunya akan berakibat pada 
meluapnya aliran pada saluran air itu. Namun, hal ini tak membuat jera 
umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah 
terulangnya banjir di sejumlah daerah. Banjir lebih banyak diinisiasi 
oleh perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem sekitar.
 Oleh karena itulah, eksistensi penyeru (dai) ramah lingkungan di tengah
 bencana alam yang kerap terjadi di musim hujan ini, merupakan 
keniscayaan tak nisbi.
Makna kata ayaatina (ayat-ayat Kami) dalam Al Quran tak hanya memiliki 
arti ayat-ayat tertulis, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi 
ayat-ayat yang yang menghampar di lingkungan sekitar. Banjir yang 
disebutkan dalam Al Quran, meskipun tak menyebutkan secara spesifik 
penyebab ekologis terjadinya banjir, itu bukan berarti Islam 
menghalalkan perusakan lingkungan hidup. Justru ketika tidak disebutkan 
secara spesifik, mengindikasikan umat manusia dapat melakukan penafsiran
 yang bersifat ekologis. Dalam pendekatan ini, banjir tak sekadar 
dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala 
kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan.
Ingat, Dia (Allah) menciptakan bumi beserta kehidupan dalam sebuah 
keteraturan (ekuilibrium). Oleh karena itu, ketika manusia merusak 
keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, 
sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari ulah 
manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau 
disebut sebagai azab. Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang 
tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Siapakah yang akan 
menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pemimpin?
Tentunya, banjir yang terjadi adalah dosa bagi orang yang menjabat 
sebagai pejabat tertentu. Mereka tidak menyediakan ruang untuk membuang 
sampah. Baiknya kita renungkan ayat qauliyah berikut, “Mereka 
mendustakan Allah, maka Kami selamatkan nabi Nuh dan pengikutnya dengan 
naik kapal dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat 
Kami, sesungguhnya mereka adalah komunitas yang buta.” (Q.S. Al-A’raf: 
64).
Pada surat yang lain, Allah berfirman, “Dan tatkala datang adzab 
Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia 
dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) 
dari `adzab yang berat. (Q.S. Hud: 58). Termasuk pada golongan 
manakah kita? Mudah-mudahan termasuk pada golongan umat manusia yang 
sadar, bahwa membina relasi harmonis dengan alam sekitar merupakan misi 
suci dalam Islam. 
Wallahua’lam
 
No comments:
Post a Comment